Beberapa hari yang lalu, salah satu rekan guru tiba-tiba WhatsApp. Kira-kira begini isinya “Ada anak yang pinter gambar Pak”. Spontan saya langsung balas. “Kasih challenge untuk membuat rangkuman atau apa pun dengan cara menggambar saja Mas”
Rasanya senang sekali waktu ada rekan guru yang mulai memahami karakter dan potensi masing-masing anak. Dan proses ini tidak hanya butuh waktu 1 atau 2 minggu. Bisa jadi potensi setiap anak baru terlihat setelah 1 semester. Apalagi kelasnya yang cukup gemuk. Di Kelas VII B Putri, ada 33 siswa dalam satu kelas.
Disclaimer dulu ya…
Saya bantu Pak Kyai Abdulloh Ma’sum mewujudkan impian beliau untuk membangun SMP berbasis Intrepreneur. Tentu saja tanpa mencabut akar pesantren. Masih ada pengajian kitab kuning dan juga tahfidz. Di sekolah inilah saya dan rekan-rekan berkegiatan di pagi hari.

Saya ingin sekali sekolah ini menjadi tempat belajar yang sesungguhnya. Namanya belajar ya belajar. Mencari hal yang belum diketahui dan akhirnya diketahui. Selain itu, ini juga menjadi tempat belajar masing-masing anak untuk menemukan potensi dan mengembangkannya. Menurut saya, ini konsep pendidikan yang sebenarnya.
Makanya, saya sangat mendorong rekan-rekan guru untuk membantu anak-anak agar mau belajar lalu mendapatkan apa yang menjadi potensi mereka. Bukan hanya sekedar datang ke kelas, menyampaikan materi, lalu meminta anak mengerjakan tugas.
Siswa Bebas tapi Terkontrol
Menyamakan cara belajar jelas bukan cara terbaik ketika ingin mengembangkan potensi anak. Yang lebih tepat menurut saya adalah membebaskan siswa berkreasi sesuai dengan kesukaan mereka.
Namun, bukan bebas begitu saja. Bebas dan tetap terkontrol. Hal ini disebabkan ada anak yang tidak percaya diri ketika diminta untuk presentasi di depan kelas. Ia siswa introvert. Ia lebih suka untuk membuat skema atau gambar dalam menjelaskan sebuah obyek.
Ada juga siswa yang tidak bisa diam. Ia suka sekali bertanya namun kurang begitu semangat untuk mencatat. Ada siswa cepat menghafal dan menyerap pelajaran namun malu untuk berpendapat ketika diskusi.
Coba bayangkan jika ada banyak karakter di satu kelas. Apa kudu disamakan cara mengajarnya? Menurut saya, seharusnya pembelajaran disesuaikan dengan keinginan dan kesuksaan mereka.
Namun, bukan berarti mereka bebas begitu saja. Tetap ada tujuan yang harus dicapai. Misalnya pelajaran Bahasa Indonesia tentang bagaimana membuat mempresuasi masyarakat untuk menjaga kebersihan. Ada yang membuat poster. Ada yang membuat comic strip. Ada juga yang membuat puisi, pantun lucu, dan lain sebagainya.
Ada yang tidak suka menulis melainkan lebih suka berpuisi di depan kelas. Ada yang suka membuat kalimat sindiran akan pentingnya menjaga kesehatan.
Dengan cara ini, setidaknya setiap siswa lebih tertarik untuk ikut proses belajar karena mereka bebas memilih apa yang mereka suka. Bagaimana menurut Anda?

Tapi…… Banyak Kendala
Kendala yang pertama tentu tidak semua guru memilih pemahaman yang sama tentang model pembelajaran seperti ini. Makanya saya secara pelan-pelan memberikan pemahaman ini kepada rekan-rekan guru.
Selain itu, tantangan terbesarnya adalah mengelola kelas. Lha yo jelas kalau ada 15 anak memiliki cara belajar berbeda, otomatis guru harus mengarahkan mereka satu per satu. Ini memakan waktu tapi hasilnya bakal luar biasa.
Dan satu lagi. Kalau cara ini dilakukan, ya kemungkinan besar anak tidak siap untuk ikut lomba. Apalagi juara. Lha wong kebanyakan lomba itu tertulis, multiple-choice dan cepet-cepatan menebak je.
Yowes rapopo